Merasa adalah salah satu kampung Dayak yang adanya di pedalaman hutan. Lokasi tepatnya di KM 37 Jalan Poros Berau – Samarinda. Di situ ada petunjuk untuk ke Wisata Alam Air Terjun Bawan Batu. Untuk menjangkau kampung ini, masih relatif memungkinkan menggunakan mobil atau motor, meski jalanan sebagian besar adalah jalan tanah.
Selain air terjun Bawan Batu, di Merasa juga ada satu lagi air terjun bernama Jenum. Sementara obyek wisata alam dan kebudayaan masyarakat suku pedalaman asli Berau lainnya seperti Batu Tembak, pemandangan Gunung Nyapa, Batu Putih, Batu Asu, BatuKapen, Batu Lungun, Goa Tembakau, Goa Lungun, dan tebing sungai Kelay.
Sayangnya, ketika saya ke Merasa bukan untuk berwisata. Saya tetap harus fokus untuk mendokumentasikan aktivitas Pencerah Nusantara. Kami (saya, dr Rheas, Novi, Upi, Septi, Dheyo, dan sopir) berangkat dari Puskesmas Kelay malam hari (13/6) sekitar jam 19.00 WITA dengan menggunakan mobil opeasional jenis double-gardan.
Melewati jalanan hutan belantara pada malam hari menjadi pengalaman baru bagi saya. Sempat terbayang kalau harus jalan sendiri lewat sepinya jalanan yang tanpa listrik. Tiga jam perjalanan membawa kami ke Kampung Merasa. Masuk kampung ini ditandai dengan jembatan gantung besar senilai Rp 1,9 Miliar.
Menurut teman-teman PN, jangan sekali-sekali menabrak anjing milik orang Dayak baik secara sengaja atau tidak. Jika saja hal itu terjadi, ya siap-siaplah mengganti uang dengan hitungan per puting dikali Rupiah (misal anjing yang tertabrak punya 6 puting susu dan setiap putingnya dihargai Rp 500 ribu, maka ongkos ganti rugi 6 x 500rb = 3 juta rupiah).
So, berhati-hati jauh lebih bijak menurut saya. Sepanjang kampung Merasa, saya pun harus turun berkali-kali dari mobil untuk mengusir para anjing yang tidur di jalanan. Daripada menabrak anjing dan diminta untuk ganti rugi per puting, mending mengalah dan berhati-hati.
Hak cipta foto-foto: Aditya Wardhana untuk MDGs
Catatan di Kampung Merasa, 13 Juni 2014