Empat hari tinggal di sekitar danau Lindu, Sulawesi Tengah, terasa belum cukup buat saya untuk menjelajahi pesona alamnya yang eksotik. Di luar masalah sinyal telepon dan listrik yang tak ada sama sekali, saya merasa betah tinggal di sini.
Karena kebanyakan masyarakat Lindu tidak memperoleh listrik dan hanya mengandalkan genset, saya menyebut mereka sebagai kaum genset 🙂 Ini sekadar plesetan dari “jetset”. Hidup tanpa listrik 24 jam bukan kendala lagi buat orang-orang Lindu. Beruntung saya sewaktu di Kelay, Berau, Kalimantan Timur (Baca: Tips Berkelana di Kelay) sudah mengalami hal serupa.
Namun pasokan listrik di Lindu ini lebih parah, karena rata-rata genset hanya bisa bertahan 2-3 jam saja. Apalagi genset di posko Pencerah Nusantara – yang merupakan rumah dinas kesehatan Lindu rusak. Jadi sudah satu bulan mereka hidup dalam kegelapan malam dan hanya mengandalkan cahaya dari lampu rechargeable LED.
Menurut teman-teman PN 2, genset mereka adalah warisan dari PN 1. Genset tersebut sudah pernah rusak dan diperbaiki tapi kembali ngadat . Untuk memperbaiki genset tersebut, mereka harus membeli komponen yang rusak di kota Palu. Ongkos pergi-pulang ke ibukota Sulawesi Tengah juga memberatkan mereka kalau hanya sekadar membeli spare-part itu. Jadi biasanya mereka akan ke kota Palu sebulan sekali, selain berbelanja kebutuhan bulanan, ke warnet, dan menelepon sanak kerabat. Seharusnya saat saya menulis catatan ini, genset tersebut sudah bisa beroperasi lagi.
Praktis, saya pun mengeset henpon HTC One saya ke Flight Mode untuk menghemat baterai. Toh, fitur menelepon diaktifkan pun tidak bisa digunakan. So, saya pun lebih banyak megeksplorasi henpon saya untuk memotret (Baca: Traveling Berbekal Smartphone).
Puskesmas Mewah tanpa Listrik
Ada yang ironis dengan keberadaan Puskesmas Lindu. Bangunan Pusat Kesehatan Masyarakat ini terbilang cukup kokoh berrdiri di dekat posko PN, letaknya pas di tikungan menuju Laboratorium Schistosomiosis. Melongok faslitas Puskesmas tersebut saya cukup heran karena relatif lengkap, ada ruang rawat dan alat-alat kesehatan yang memadai.
Namun sayangnya, alat-alat kesehatan yang konon merupakan bantuan dari pemerintah senilai milayaran tersebut seakan tidak gunanya. Masalahnya adalah Puskesmas Lindu tidak memiliki genset yang kapasitas power-nya besar.
Satu-satunya genset yang dimiliki puskesmas yang diresmikan pun rusak 🙁 Jadi mau bilang apa lagi coba…. Ironis. Selama saya di sini pun Puskesmas Lindu seakan menjadi pajangan belaka. Hampir tidak ada aktivitas pelayanan kesehatan. Bahkan menjelang jam 12 siang, pintu puskesmas sudah tertutup dan para pegawainya pun sudah pulang. Kondisi ini bertolak belakang dengan apa yang saya lihat sebelumnya di Puskesmas Kelay, Berau, Kaltim, yang buka sampai jam 12 malam. Salut untuk Pak Kapus Arnel, dr. Edi, bro Hendri, dan tim Puskesmas Kelay lainnya.
Saya sih hanya menduga tidak adanya kepala puskesmas Lindu di kantor setiap harinya menjadi penyebab masalah tersebut. Dari obrolan dengan beberapa masyarakat, ternyata praduga saya klop. Beruntung ada teman-teman Pencerah Nusantara (PN) yang aktif memberikan pelayanan kesehatan hingga ke pelosok-pelosok. Tahun lalu, menurut teman-teman PN sempat ada dokter PTT yang bertugas di Puskesman Lindu tapi hanya dalam hitungan bulan tidak betah :(.
Menurut saya nih, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tanggap dong dengan kondisi ini. Tapi ya sudahlah ini juga menjadi tantangan tersendiri buat tim PN 3 yang akan datang pada Oktober 2014. Maju terus “Tunjukkan Baktimu Mulai Aksimu”.
Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Pagi hari (21/6) saya pun harus berpisah dengan teman-teman PN dan danau Lindu yang memesona untuk mengejar travel destination. berikutnya, Ogotua-Tolitoli. Ojek yang mengantar saya waktu datang ke Lindu pun telah siap di depan posko. Padahal masih banyak hal yang masih membuat penasaran saya untuk datang dan mengeksplorasi lebih jauh Taman Nasional Lore Lindu, terutama ke situs-situs Megalithikum di Lembah Napu dan Bada. (Baca: Tips Masuk ke Lore Lindu).
Entah kapan…
Mmm… tak terasa jam di atas meja kerja saya sudah menunjuk 01.35 WIB. Matapun terasa berat, sepertinya saat yang tepat saya mengakhiri catatan perjalanan di tanah Lindu ini dan beranjak tidur..
Hak Cipta Foto-Foto: Aditya Wardhana untuk MDGs Pencerah Nusantara
Catatan di Lindu, 20 Juni 2014